Rabu, 22 Februari 2012

PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK


PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK
1.  Pendahuluan
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) tidak dapat dipisahkan dari institude Freudenthal. Institut ini didirikan pada tahun 1971, berada di bawah Utrecht University Belanda. Nama institut diambil dari nama pendirinya yaitu Profesor Hans Freudenthal (1905-1990), seorang penulis, pendidik dan matematikawan berkebangsaan Jerman-Belanda.
Sejak tahun 1971, Institut ini mengembangkan suatu pendekatan teoritis terhadap pembelajaran matematika yang dikenal dengan RME (Realistic Mathematics Education). RME menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika dan bagaimana matematika harus diajarkan (Hadi, 2005).
Pendidikan matematika realistik dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities) yang harus dikaitkan dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, PMRI mempunyai ciri antara lain bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru, dan bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil” (Hadi, 2004).
Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi. Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri. Banyak soal yang dapat diangkat dari berbagai konteks (situasi) yang dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar.
Konsep matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang berkait dengan konteks (context link solution), siswa secara perlahan mengembangkan alat dan pemahaman metematik ke tingkat yang lebih formal. Model-model yang muncul dari aktivitas matematik siswa akan dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas sehingga mengarah pada level berpikir matematik yang lebih tinggi.
Teori PMRI sejalan dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti kontruktivisme dan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning, disingkat CTL). Namun, baik pendekatan konstruktivisme maupun CTL mewakili teori belajar secara umum. PMRI merupakan suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika. Selanjutnya juga diakui bahwa konsep pendidikan matematika realistik sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan daya nalar (Hadi, 2004).
Paradigma baru dalam pembelajaran sekarang ini khususnya PMRI menekankan terhadap proses pembelajaran dimana aktivitas siswa dalam mencari, menemukan dan membangun sendiri pengetahuan yang dia perlukan benar-benar menjadi pengalaman belajar tersendiri bagi setiap individu.
Menurut De Lange, pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI meliputi aspek-aspek berikut (Hadi, 2005).









2.  Pembahasan
Pengertian Pendekatan Matematika Realistik
1.      Pendekatan matematika realistik merupakan suatu pendekatan pembelajaran dalam pendidikan matematika yang pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda.
2.      Pendekatan matematika realistic merupakan suatu pendekatan yang bertujuan untuk memotivasi siswa memahami konsep matematika dengan mengaitkan konsep tersebut dengan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.

Sejarah Singkat Pembelajaran Matematika Realistik (Realistic Mathematics Education)
Pada tahun 1973, Prof. Hans Freudenthal memperkenalkan suatu model baru dalam pembelajaran matematika yang akhirnya dikenal dengan nama RME (Realistic Mathematics Education) yang di Indonesia di istilahkan dengan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR). Hans Freudenthal adalah warga Jeman yang lahir pada tahun 1905 di Luckenwalde. Pada tahun 1930, dia pindah ke Amsterdam, Netherlands dan pada tahun 1946 beliau menjadi profesor di Universitet Utrecht. Pada tahun 1971, Freudenthal mendirikan Instituut Ontwikkeling Wiskunde Onderwijs (IOWO) atau Institut for Development of Mathematics Education, yang sekarang lebih dikenal dengan nama Freudenthal Institut. Freudenthal Institut adalah bagian dari Faculty of Mathematics and Computer Science di Utrecth University, yang merupakan tempat pelaksanaan research tentang pendidikan matematika dan bagaimana matematika harus diajarkan. Freudenthal meninggal pada usia 85 tahun tepatnya tanggal 13 Oktober 1990.
Pembelajaran matematika realistik awalnya dikembangkan di negeri Belanda. Menurut Freudenthal, matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan situasi sehari-hari. Selain itu siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika. Penggunaan istilah “realistic” bukanlah karena pembelajaran realistik berkaitan dengan dunia nyata (real world), tetapi juga berkaitan dengan penggunaan masalah yang dapat dibayangkan oleh siswa. Membayangkan dalam bahasa Belanda adalah “zich realiseren”. Penekanannya adalah membuat sesuatu menjadi nyata dalam pikiran siswa. Jadi masalah yang disajikan tidak selamanya harus berasal dari dunia nyata.
1.   Materi  pembelajaran berdasarkan/bertolak dari masalah kontekstual dalam hidup sehari-sehari.
2.   Siswa menemukan konsep sendiri dari menyelesaikan masalah kontekstual dengan bantuan guru dan diskusi kelas.
3.   Siswa bebas memilih cara menyelesaikan soal sesuai dengan perkembangan kognitifnya.
4.   Adanya interaksi dan negoisasi antar siswa dan guru tentang cara penyelesaian masalah/soal.

Karakteristik Pembelajaran Matematika Realistik
Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan matematika realistic memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan pendekatan-pendekatan yang lain. Treffers (dalam Zulkardi, www.pmi.or.id) mengemukakan lima karakteristik utama yang dijumpai pada pendekatan matematika realistic, yaitu :
1.   Menggunakan masalah kontekstual
2.   Menggunakan model sendiri
3.   Menggunakan kontribusi siswa
4.   Interaktivitas
5.   Terintegrasi dengan topic pembelajaran yang lainnya.
Sedangkan Marpaung (dalam nurjaya.files.wordpress.com/) menjelaskan karakteristik pendekatan matematika realistic, yaitu :
1.      Murid aktif, guru aktif (matematika sebagai aktivitas manusia)
2.      Pembelajaran sedapat mungkin dimulai dengan menyajikan masalah kontekstual/realistic
3.      Guru memberikan kesempatan pada siswa menyelesaikan masalah dengan cara sendiri
4.      Guru menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan.
5.      Siswa dapat menyelesaikan masalah dalam kelompok
6.      Pembelajaran tidak selalu di dalam kelas
7.      Guru mendorong terjadinya interaksi dan negosiasi
8.      Siswa bebas memilih modus representasi yang sesuai dengan struktur kognitifnya sewaktu menyelesaikan suatu masalah.
9.      Guru bertindak sebagai fasilitator
10.  Kalau siswa membuat kesalahan dalam menyelesaikan masalah jangan dimarahai tetapi dibantu melalui pertanyaan-pertanyaan.


Menurut Soedjadi (2001: 3) pembelajaran matematika realistik mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut:

1. Menggunakan konteks, artinya dalam pembelajaran matematika realistik lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan sebagai bagian materi belajar yang kontekstual bagi siswa.
2. Menggunakan model, artinya permasalahan atau ide dalam matematika dapat dinyatakan dalam bentuk model, baik model dari situasi nyata maupun model yang mengarah ke tingkat abstrak.
3. Menggunakan kontribusi siswa, artinya pemecahan masalah atau penemuan konsep didasarkan pada sumbangan gagasan siswa.
4. Interaktif, artinya aktivitas proses pembelajaran dibangun oleh interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan dan sebagainya.
5. Intertwin, artinya topik-topik yang berbeda dapat diintegrasikan sehingga dapat memunculkan pemahaman tentang suatu konsep secara serentak.
                             
Aspek-aspek Pembelajaran Matematika Realistik
Menurut De Lange, pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI meliputi aspek-aspek berikut (Hadi, 2005) :
(a)    Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya sehingga siswa segera terlibat dalam pembelajaran secara bermakna.
(b)      Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut.
(c) Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terdapat persoalan/ masalah.
(d)      Pengajaran berlangsung secara interaktif : siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.
Paradigma baru pendidikan sekarang ini juga lebih menekankan pada peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Dalam PMRI, siswa dipandang sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya sehingga siswa dapat mengembangkan pengetahuan tersebut apabila diberikan kesempatan untuk mengembangkannya. Dengan demikian, siswa harus aktif dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan.
Hadi (2005) menyatakan bahwa PMRI mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut :
(a)    Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya.
(b)   Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan untuk dirinya sendiri
(c)    Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali dan penolakan.
(d) Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman.
(e) Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematika.
Selain konsepsi tentang siswa, PMRI juga merumuskan peran guru dalam pembelajaran yaitu (Hadi, 2005) :
(a)    Guru hanya sebagai fasilitator belajar.
(b)   Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif.
(c) Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil.
(d) Guru tidak terpaku pada materi yang terdapat dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia riil baik fisik maupun sosial.





Prinsip-prinsip Pembelajaran Matematika Realistik
Berdasarkan aspek-aspek pembelajaran, konsepsi siswa dan peran guru dalam pembelajaran tersebut mempertegas bahwa PMRI sejalan dengan paradigma baru pendidikan sehingga pantas dikembangkan di Indonesia (Marpaung, 2004).
Van den Huivel-Panhuizen dalam bukunya “Mathematics Education in the Netherland A Guide Tour” (Marpaung, 2004) menyebutkan prinsip-prinsip PMRI yaitu :
(1) Prinsip Aktivitas
Prinsip ini menyatakan bahwa aktivitas matematika paling banyak dipelajari dengan melakukannya sendiri.
(2) Prinsip Realitas
Prinsip ini menyatakan bahwa pembelajaran matematika dimulai dari masalah-masalah dunia nyata yang dekat dengan pengalaman siswa (masalah yang realitas bagi siswa).
(3) Prinsip Perjenjangan
Prinsip ini menyatakan bahwa pemahaman siswa terhadap matematika melalui berbagai jenjang; dari menemukan (to invent), penyelesaian masalah kontekstual secara informal ke skematisasi, ke perolehan insign dan selanjutnya ke penyelesaian secara formal.
(4) Prinsip Jalinan
Prinsip ini menyatakan bahwa materi matematika di sekolah sebaiknya tidak dipecah-pecah menjadi aspek-aspek (learning strands) yang diajarkan terpisah-pisah.
(5) Prinsip Interaksi
Prinsip ini menyatakan bahwa belajar matematika dapat dipandang sebagai aktivitas sosial selain sebagai aktivitas individu.
(6) Prinsip Bimbingan
Prinsip ini menyatakan bahwa dalam menemukan kembali (reinvent) matematika siswa perlu mendapat bimbingan.
Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik daripada masa yang lalu Dalam pandangan PMR, pengembangan suatu konsep matematika dimulai oleh siswa secara mandiri berupa kegiatan eksplorasi sehingga memberikan peluang pada siswa untuk berkreasi mengembangkan pemikirannya.

Adapun sintak implementasi matematika realistik adalah
Aktivitas Guru
Aktivitas Siswa
Guru memberikan siswa masalah kontekstual.
Siswa secara sendiri atau kelompok kecil mengerjakan masalah dengan strategi-strategi informal.
Guru merespon secara positif jawaban siswa. Siswa diberikan kesempatan untuk memikirkan strategi siswa yang paling efektif.

Guru mengarahkan siswa pada beberapa masalah kontekstual dan selanjutnya meminta siswa mengerjakan masalah dengan menggunakan pengalaman mereka
Siswa secara sendiri-sendiri atau berkelompok menyelesaikan masalah tersebut.
Guru mengelilingi siswa sambil memberikan bantuan seperlunya.
Beberapa siswa mengerjakan di papan tulis. Melalui diskusi kelas, jawaban siswa dikonfrontasikan.
Guru mengenalkan istilah konsep.
Siswa merumuskan bentuk matematika formal.
Guru memberikan tugas di rumah, yaitu mengerjakan soal atau membuat masalah cerita beserta jawabanya yang sesuai dengan matematika formal.
Siswa mengerjakan tugas rumah dan menyerahkannya kepada guru
Esensi lain pembelajaran matematika realistik adalah tiga prinsip kunci yang dapat dijadikan dasar dalam merancang pembelajaran. Gravemeijer (1994: 90) menyebutkan tiga prinsip tersebut, yaitu (1) guided reinvention and progressive mathematizing (2) didactical phenomenology dan (3) self-developed models.
1. Guided reinvention and progressive mathematizing. Menurut Gravemijer (1994: 90), berdasar prinsip reinvention, para siswa semestinya diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan proses saat matematika ditemukan. Sejarah matematika dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam merancang materi pelajaran. Selain itu prinsip reinvention dapat pula dikembangkan berdasar prosedur penyelesaian informal. Dalam hal ini strategi informal dapat dipahami untuk mengantisipasi prosedur penyelesaian formal. Untuk keperluan tersebut maka perlu ditemukan masalah kontekstual yang dapat menyediakan beragam prosedur penyelesaian serta mengindikasikan rute pembelajaran yang berangkat dari tingkat belajar matematika secara nyata ke tingkat belajar matematika secara formal (progressive mathematizing)
2. Didactical phenomenology. Gravemeijer (1994: 90) menyatakan, berdasar prinsip ini penyajian topik-topik matematika yang termuat dalam pembelajaran matematika realistik disajikan atas dua pertimbangan yaitu (i) memunculkan ragam aplikasi yang harus diantisipasi dalam proses pembelajaran dan (ii) kesesuaiannya sebagai hal yang berpengaruh dalam proses progressive mathematizing.
3. Self-developed models, Gravemeijer (1994: 91) menjelaskan, berdasar prinsip ini saat mengerjakan masalah kontekstual siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan model mereka sendiri yang berfungsi untuk menjembatani jurang antara pengetahuan informal dan matematika formal. Pada tahap awal siswa mengembangkan model yang diakrabinya. Selanjutnya melalui generalisasi dan pemformalan akhirnya model tersebut menjadi sesuatu yang sungguh-sungguh ada (entity) yang dimiliki siswa
Teori Belajar yang Relevan dengan Pembelajaran Matematika Realistik
Seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, pembelajaran matematika realistik dikembangkan dengan mengacu dan dijiwai oleh filsafat konstruktivis. Sedangkan menurut Soedjadi (1999: 156) kontruktivisme di bidang belajar dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan yang dikembangkan sejalan dengan teori psikologi kognitif. Inti dari konstruktivisme dalam bidang belajar adalah peranan besar yang dimiliki siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan yang bermakna bagi dirinya. Sedangkan guru memposisikan diri lebih sebagai fasilitator belajar. Beberapa teori belajar kognitif yang dipandang relevan dengan pendekatan pembelajaran matematika realistik adalah teori Piaget, teori Vygotsky, teori Ausubel dan teori Bruner.
1.   Teori Piaget
Piaget (dalam Ibrahim, 1999:16) berpandangan bahwa, anak-anak memiliki potensi untuk mengembangkan intelektualnya. Pengembangan intelektual mereka bertolak dari rasa ingin tahu dan memahami dunia di sekitarnya. Pemahaman dan penghayatan tentang dunia sekitarnya akan mendorong pikiran mereka untuk membangun tampilan tentang dunia tersebut dalam otaknya. Tampilan yang merupakan struktur mental itu disebut skema atau skemata (jamak). Suparno (1997: 30) menggambarkan skema sebagai suatu jaringan konsep atau kategori. Dengan menggunakan skemanya, seseorang dapat memproses dan mengidentifikasi suatu rangsangan yang diterimanya sehingga ia dapat menempatkannya pada kategori/ konsep yang sesuai.
Piaget menyatakan bahwa prinsip dasar dari pengembangan pengetahuan seseorang adalah berlangsungnya adaptasi pikiran seseorang ke dalam realitas di sekitarnya. Proses adaptasi ini tidak terlepas dari keberadaan skema yang dimiliki orang tersebut serta melibatkan asimilasi, akomodasi dan equiliberation dalam pikirannya (Suparno,1997: 31). Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang dapat mengintegrasikan persepsi, konsep atau pengalaman baru ke dalam skema yang dimilikinya. Melalui asimilasi, skema seseorang berkembang namun tidak berubah. Dengan demikian perkembangan skema seseorang berarti terjadinya pengayaan persepsi dan pengetahuan seseorang atas dunia sekitarnya. Karena itu asimilasi dapat dipandang sebagai proses yang dilakukan individu untuk mengadaptasikan dan mengorganisasi diri ke dalam lingkungannya sehingga pengertianya berubah.
Proses kognitif asimilasi tidak selalu dapat dilakukan seseorang . Hal ini terjadi jika rangsangan baru yang diterimanya tidak sesuai dengan skema yang dimilikinya. Jika hal ini terjadi, maka akan dilakukan proses akomodasi. Melalui proses akomodasi, pikiran seseorang akan membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan tersebut atau memodifikasi skema yang telah ada sehingga cocok dengan rangsangan tersebut (Suparno, 1997: 32).
Dalam mengembangkan pengetahuannya, proses asimilasi dan akomodasi terus berlangsung dalam diri seseorang. Keduanya terjadi tidak berdiri sendiri. Kedua proses ini berlangsung dalam keseimbangan yang diatur secara mekanis. Proses pengaturan keseimbangan ini disebut equilibrium (Suparno, 1997: 32). Namun dalam menerima suatu pengalaman baru dapat terjadi suatu keadaan sedemikian hingga terjadi ketidakseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Keadaan ini disebut sebagai dissequilibrium. Ketidakseimbangan ini muncul pada saat terjadi ketidaksesuaian antara pengalaman saat ini dengan pengalaman baru yang mengakibatkan akomodasi. Jika terjadi ketidakseimbangan maka seseorang dipacu untuk mencari keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Menurut Dahar (1991: 182) seseorang yang mampu memperoleh kembali keseimbangannya akan berada pada tingkat intelektual yang tinggi dari sebelumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Teori Piaget memandang kenyataan atau pengetahuan bukan sebagai objek yang memang sudah jadi dan ada untuk dimiliki manusia, namun ia harus diperoleh melalui kegiatan konstruksi oleh manusia sendiri melalui proses pengadaptasian pikirannya ke dalam realitas di sekitarnya.
Lebih lanjut Piaget (dalam Atkinson, 1999: 96) menjelaskan bahwa dalam tahap-tahap perkembangan intelektualnya seorang anak sudah terlibat dalam proses berpikir dan mempertimbangkan kehidupannya secara logis. Proses berpikir tersebut berlangsung sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Agar perkembangan intelektual anak berlangsung optimal maka mereka perlu dimotivasi dan difasilitasi untuk membangun teori-teori yang menjelaskan tentang dunia sekitarnya (Ibrahim, 1999: 19). Berkaitan dengan upaya ini Piaget (dalam Ibrahim, 1999:18) berpendapat bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang melibatkan anak bereksperimen secara mandiri, dalam arti:
a.    Mencoba segala sesuatu untuk melihat apa yang terjadi.
b. Memanipulasi tanda dan symbol
c. Mengajukan pertanyaan
d. Menemukan jawaban sendiri
e. Mencococokan apa yang telah ia temukan pada suatu saat dengan apa yang ia temukan pada saat yang lain
f. Membandingkan temuannya dengan temuan orang lain.
Pembelajaran matematika realistik merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang sejalan dengan pandangan Piaget di atas. Pembelajaran matematika realistik yang dikembangkan dengan berlandaskan pada filsafat konstruktivis, memandang pengetahuan dalam matematika bukanlah sebagai sesuatu yang sudah jadi dan siap diberikan kepada siswa, namun sebagai hasil konstruksi siswa yang sedang belajar. Karena itu, dalam pembelajaran matematika realistik siswa merupakan pusat dari proses pembelajaran itu sendiri, sedangkan guru berperan lebih sebagai fasilitator. Implikasi dari pandangan ini adalah keharusan bagi guru untuk memfasilitasi dan mendorong siswa untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Siswa harus didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan bagi dirinya. Untuk keperluan tersebut maka siswa perlu mendapat keleluasaan dalam mengekspresikan jalan pikirannya dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya.
Untuk mewujudkan situasi dan kondisi belajar yang demikian maka dalam mengelola pembelajaran guru perlu memperhatikan beberapa pandangan Piaget. Diantaranya adalah guru perlu mendorong siswa untuk berani mencoba berbagai kemungkinan cara untuk memahami dan menyelesaikan masalah. Dalam ini aktivitas mengkonstruksi pengetahuan oleh siswa diwujudkan dengan memberikan masalah kontekstual. Masalah kontekstual tersebut dirancang sedemikian hingga memungkinkan siswa untuk membangun pengetahuannya secara mandiri.

2.   Teori Vygotsky
Matthews dan O’Loughlin (dalam Suparno, 1997: 41) berpendapat bahwa teori Piaget dikembangkan dengan penekanan yang lebih pada aspek personal. Teori ini dipandang terlalu subjektif dan kurang sosial, sehingga faktor masyarakat dan lingkungan kurang diperhatikan dalam proses pengembangan intelektual seorang anak.
Berbeda dengan Piaget, Vygotsky (dalam Ibrahim, 1999: 18) berpendapat bahwa proses pembentukan dan pengembangan pengetahuan anak tidak terlepas dari faktor interaksi sosialnya. Melalui interaksi dengan teman dan lingkungannya, seorang anak terbantu perkembangan intelektualnya. Pandangan Vygotsky tentang arti penting interaksi sosial dalam perkembangan intelektual anak tampak dari empat ide kunci yang membangun teorinya.

3.   Teori Ausubel
Ausubel, Noval dan Hanesian menggolongkan belajar atas dua jenis yaitu belajar menghafal dan belajar bermakna (Suparno, 1997: 53). Menurut Nur (1999: 38) belajar menghafal mengacu pada penghafalan fakta-fakta atau hubungan-hubungan, misal tabel perkalian dan lambang-lambang atom kimia. Sedangkan menurut Ausubel belajar dikatakan bermakna jika informasi yang akan dipelajari siswa disusun sesuai dengan struktur kognitifnya sehingga siswa tersebut mengkaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya (Hudojo, 1988: 61).
Menurut Parreren melalui belajar bermakna struktur konsep yang dimiliki seseorang mengalami perkembangan. Selain itu konsep-konsep yang terhubung satu dengan yang lain secara bermakna melahirkan kaidah yang berguna dalam pemecahan masalah (Winkel, 1991: 57). Pandangan ini sejalan dengan pendapat yang menyebutkan bahwa pengetahuan yang dipelajari secara bermakna akan memungkinkan untuk diterapkan ke situasi yang lebih luas dalam kehidupan nyata (Nur, 1999: 34).
Berlawanan dengan penjelasan di atas, jika pengetahuan yang semestinya dapat diajarkan secara bermakna tetapi diajarkan dengan menghafal akan menghasilkan pengetahuan inert. Pengetahuan inert adalah pengetahuan yang sesungguhnya dapat diterapkan untuk situasi yang lebih umum, tetapi pada kenyataannya hanya dapat diterapkan dalam situasi khusus (Nur, 1999: 38). Siswa yang hanya menghafal suatu konsep tanpa benar-benar mengerti isinya merupakan bentuk dari korban verbalisme (Winkel, 1991: 58).
Salah satu karakteristik pembelajaran matematika realistik adalah penggunaan konteks. Penggunaan konteks dalam pembelajaran matematika realistik berarti bahwa lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan sebagai bagian materi belajar bagi siswa. Apa yang terjadi di sekitar siswa maupun pengetahuan yang dimiliki siswa merupakan bahan yang berharga untuk dijadikan sebagai permasalahan kontekstual yang menjadi titik tolak aktivitas berfikir siswa. Permasalahan yang demikian lebih bermakna bagi siswa karena masih berada dalam jangkauan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya. Oleh sebab itu, untuk memecahkan masalah kontekstual seorang siswa harus dapat mengkaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan permasalahan tersebut. Dengan demikian seorang siswa akan berhasil memecahkan masalah kontekstual jika ia mempunyai cukup pengetahuan yang terkait dengan masalah tersebut. Selain itu siswa juga harus dapat menerapkan pengetahuan yang telah dimilikinya untuk menyelesaikan masalah kontekstual tersebut. Dengan demikian penyajian masalah kontekstual untuk siswa dalam pembelajaran matematika realistik sejalan dengan teori belajar bermakna Ausubel.

4.   Teori Bruner
Bruner (dalam Hudojo, 1988: 56) berpendapat bahwa belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur tersebut. Menurut Bruner pemahaman atas suatu konsep beserta strukturnya menjadikan materi itu lebih mudah diingat dan dapat dipahami lebih komprehensif.
Mirip dengan seperti apa yang dikemukakan Piaget, Bruner berpendapat adanya tiga tahap perkembangan mental yang dilalui peserta didik dalam proses belajar. Namun ketiga tahap berpikir menurut Bruner ini tidak dikaitkan dengan usia peserta didik.

Contoh Desain Pembelajaran Menggunakan Pendekatan Realistik Matematika
Kepada siswa disajikan berbagai konteks yang berkaitan dengan system persamaan linier, pengenalan proses penyelesaian SPL, sampai kepada pengenalan istilah persamaan dan system persamaan linier. Antara lain, konteks : barter, timbangan, minyak wangi, koperasi mina sari dan harga berbagai barang. Selain SPL juga disampaikan masalah POLA dan FORMULA dengan mengambil konteks pengubinan dan pemasangan kerangka baja.



3.     Penutup
1.      Pendekatan matematika realistik merupakan suatu pendekatan pembelajaran dalam pendidikan matematika yang pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda.
2.      Pendekatan matematika realistic merupakan suatu pendekatan yang bertujuan untuk memotivasi siswa memahami konsep matematika dengan mengaitkan konsep tersebut dengan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.

Mengingat bahwa tidak ada cara belajar dan mengajar yang terbaik (Nisbet, 1984) maka pendekatan realistic perlu dipertimbangkan untuk dijadikan sebagai alternative dalam pembelajaran matematika. Namun perlu diingat bahwa masalah kontekstual yang diungkapkan tidak selamanya berasal dari aktifitas sehari-hari, melainkan bisa juga dari konteks yang dapat diimajinasikan dalam pikiran.












DAFTAR PUSTAKA

http://h4mm4d.wordpress.com/2009/02/27/pendidikan-matematika-realistik-indonesia-pmri-indonesia/ tanggal 20 jam 21.59
Tim. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar