PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK
1. Pendahuluan
Pendidikan Matematika Realistik
Indonesia (PMRI) tidak dapat dipisahkan dari institude Freudenthal. Institut
ini didirikan pada tahun 1971, berada di bawah Utrecht University Belanda. Nama
institut diambil dari nama pendirinya yaitu Profesor Hans Freudenthal
(1905-1990), seorang penulis, pendidik dan matematikawan berkebangsaan Jerman-Belanda.
Sejak tahun 1971, Institut ini
mengembangkan suatu pendekatan teoritis terhadap pembelajaran matematika yang
dikenal dengan RME (Realistic Mathematics Education). RME menggabungkan
pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika dan
bagaimana matematika harus diajarkan (Hadi, 2005).
Pendidikan matematika realistik
dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa
matematika merupakan aktivitas insani (human activities) yang harus dikaitkan
dengan realitas. Berdasarkan pemikiran tersebut, PMRI mempunyai ciri antara
lain bahwa dalam proses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk
menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru, dan bahwa
penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai
dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil” (Hadi, 2004).
Freudenthal berkeyakinan bahwa
siswa tidak boleh dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi.
Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai
situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka
sendiri. Banyak soal yang dapat diangkat dari berbagai konteks (situasi) yang
dirasakan bermakna sehingga menjadi sumber belajar.
Konsep matematika muncul dari
proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang berkait dengan
konteks (context link solution), siswa secara perlahan mengembangkan alat dan
pemahaman metematik ke tingkat yang lebih formal. Model-model yang muncul dari
aktivitas matematik siswa akan dapat mendorong terjadinya interaksi di kelas
sehingga mengarah pada level berpikir matematik yang lebih tinggi.
Teori PMRI sejalan dengan teori
belajar yang berkembang saat ini, seperti kontruktivisme dan pembelajaran
kontekstual (contextual teaching and learning, disingkat CTL). Namun, baik pendekatan
konstruktivisme maupun CTL mewakili teori belajar secara umum. PMRI merupakan
suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika. Selanjutnya
juga diakui bahwa konsep pendidikan matematika realistik sejalan dengan
kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia yang didominasi
oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan
mengembangkan daya nalar (Hadi, 2004).
Paradigma baru dalam pembelajaran
sekarang ini khususnya PMRI menekankan terhadap proses pembelajaran dimana
aktivitas siswa dalam mencari, menemukan dan membangun sendiri pengetahuan yang
dia perlukan benar-benar menjadi pengalaman belajar tersendiri bagi setiap
individu.
Menurut De Lange, pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI meliputi aspek-aspek berikut (Hadi, 2005).
Menurut De Lange, pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI meliputi aspek-aspek berikut (Hadi, 2005).
2. Pembahasan
Pengertian
Pendekatan Matematika Realistik
1.
Pendekatan matematika
realistik merupakan suatu pendekatan pembelajaran dalam pendidikan matematika
yang pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda.
2.
Pendekatan matematika
realistic merupakan suatu pendekatan yang bertujuan untuk memotivasi siswa
memahami konsep matematika dengan mengaitkan konsep tersebut dengan
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.
Sejarah
Singkat Pembelajaran Matematika Realistik (Realistic Mathematics Education)
Pada tahun
1973, Prof. Hans Freudenthal memperkenalkan suatu model baru dalam pembelajaran
matematika yang akhirnya dikenal dengan nama RME (Realistic Mathematics
Education) yang di Indonesia di istilahkan dengan Pembelajaran Matematika
Realistik (PMR). Hans Freudenthal adalah warga Jeman yang lahir pada tahun 1905
di Luckenwalde. Pada tahun 1930, dia pindah ke Amsterdam, Netherlands dan pada
tahun 1946 beliau menjadi profesor di Universitet Utrecht. Pada tahun 1971,
Freudenthal mendirikan Instituut Ontwikkeling Wiskunde Onderwijs (IOWO) atau
Institut for Development of Mathematics Education, yang sekarang lebih dikenal
dengan nama Freudenthal Institut. Freudenthal Institut adalah bagian dari
Faculty of Mathematics and Computer Science di Utrecth University, yang
merupakan tempat pelaksanaan research tentang pendidikan matematika dan
bagaimana matematika harus diajarkan. Freudenthal meninggal pada usia 85 tahun
tepatnya tanggal 13 Oktober 1990.
Pembelajaran
matematika realistik awalnya dikembangkan di negeri Belanda. Menurut
Freudenthal, matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan
aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan
dengan situasi sehari-hari. Selain itu siswa harus diberikan kesempatan untuk
menemukan kembali ide dan konsep matematika. Penggunaan istilah “realistic”
bukanlah karena pembelajaran realistik berkaitan dengan dunia nyata (real
world), tetapi juga berkaitan dengan penggunaan masalah yang dapat
dibayangkan oleh siswa. Membayangkan dalam bahasa Belanda adalah “zich
realiseren”. Penekanannya adalah membuat sesuatu menjadi nyata dalam pikiran
siswa. Jadi masalah yang disajikan tidak selamanya harus berasal dari dunia
nyata.
1. Materi pembelajaran berdasarkan/bertolak dari
masalah kontekstual dalam hidup sehari-sehari.
2. Siswa
menemukan konsep sendiri dari menyelesaikan masalah kontekstual dengan bantuan guru
dan diskusi kelas.
3. Siswa
bebas memilih cara menyelesaikan soal sesuai dengan perkembangan kognitifnya.
4. Adanya
interaksi dan negoisasi antar siswa dan guru tentang cara penyelesaian
masalah/soal.
Karakteristik
Pembelajaran Matematika Realistik
Pembelajaran
dengan menggunakan pendekatan matematika realistic memiliki beberapa
karakteristik yang membedakannya dengan pendekatan-pendekatan yang lain.
Treffers (dalam Zulkardi, www.pmi.or.id)
mengemukakan lima karakteristik utama yang dijumpai pada pendekatan matematika realistic,
yaitu :
1. Menggunakan
masalah kontekstual
2. Menggunakan
model sendiri
3. Menggunakan
kontribusi siswa
4. Interaktivitas
5. Terintegrasi
dengan topic pembelajaran yang lainnya.
Sedangkan
Marpaung (dalam nurjaya.files.wordpress.com/) menjelaskan karakteristik
pendekatan matematika realistic, yaitu :
1. Murid
aktif, guru aktif (matematika sebagai aktivitas manusia)
2. Pembelajaran
sedapat mungkin dimulai dengan menyajikan masalah kontekstual/realistic
3. Guru
memberikan kesempatan pada siswa menyelesaikan masalah dengan cara sendiri
4. Guru
menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan.
5. Siswa
dapat menyelesaikan masalah dalam kelompok
6. Pembelajaran
tidak selalu di dalam kelas
7. Guru
mendorong terjadinya interaksi dan negosiasi
8. Siswa
bebas memilih modus representasi yang sesuai dengan struktur kognitifnya
sewaktu menyelesaikan suatu masalah.
9. Guru
bertindak sebagai fasilitator
10. Kalau
siswa membuat kesalahan dalam menyelesaikan masalah jangan dimarahai tetapi
dibantu melalui pertanyaan-pertanyaan.
Menurut Soedjadi (2001: 3) pembelajaran
matematika realistik mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut:
1. Menggunakan konteks, artinya dalam pembelajaran matematika realistik lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan sebagai bagian materi belajar yang kontekstual bagi siswa.
2. Menggunakan model, artinya permasalahan atau ide dalam matematika dapat dinyatakan dalam bentuk model, baik model dari situasi nyata maupun model yang mengarah ke tingkat abstrak.
3. Menggunakan kontribusi siswa, artinya
pemecahan masalah atau penemuan konsep didasarkan pada sumbangan gagasan siswa.
4. Interaktif, artinya aktivitas proses pembelajaran
dibangun oleh interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan
lingkungan dan sebagainya.
5. Intertwin, artinya topik-topik yang berbeda dapat diintegrasikan sehingga dapat memunculkan pemahaman tentang suatu konsep secara serentak.
5. Intertwin, artinya topik-topik yang berbeda dapat diintegrasikan sehingga dapat memunculkan pemahaman tentang suatu konsep secara serentak.
Aspek-aspek
Pembelajaran Matematika Realistik
Menurut De Lange, pembelajaran
matematika dengan pendekatan PMRI meliputi aspek-aspek berikut (Hadi, 2005) :
(a) Memulai pelajaran dengan mengajukan
masalah (soal) yang “riil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat
pengetahuannya sehingga siswa segera terlibat dalam pembelajaran secara
bermakna.
(b) Permasalahan yang diberikan tentu
harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran
tersebut.
(c) Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model
simbolik secara informal terdapat persoalan/ masalah.
(d) Pengajaran berlangsung secara
interaktif : siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang
diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban
temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain
dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap
hasil pelajaran.
Paradigma baru pendidikan sekarang ini juga lebih menekankan
pada peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan
berkembang. Dalam PMRI, siswa dipandang sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan
dan pengalaman sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya sehingga siswa
dapat mengembangkan pengetahuan tersebut apabila diberikan kesempatan untuk
mengembangkannya. Dengan demikian, siswa harus aktif dalam pencarian dan
pengembangan pengetahuan.
Hadi (2005) menyatakan bahwa PMRI mempunyai konsepsi tentang
siswa sebagai berikut :
(a) Siswa memiliki seperangkat konsep
alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya.
(b) Siswa memperoleh pengetahuan baru
dengan membentuk pengetahuan untuk dirinya sendiri
(c) Pembentukan pengetahuan merupakan
proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan
kembali dan penolakan.
(d)
Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat
ragam pengalaman.
(e) Setiap
siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan
mengerjakan matematika.
Selain konsepsi tentang siswa, PMRI juga merumuskan peran
guru dalam pembelajaran yaitu (Hadi, 2005) :
(a) Guru hanya sebagai fasilitator
belajar.
(b) Guru harus mampu membangun
pengajaran yang interaktif.
(c) Guru harus memberikan kesempatan
kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara
aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil.
(d) Guru tidak terpaku pada materi
yang terdapat dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan
dunia riil baik fisik maupun sosial.
Prinsip-prinsip Pembelajaran Matematika
Realistik
Berdasarkan aspek-aspek pembelajaran, konsepsi siswa dan
peran guru dalam pembelajaran tersebut mempertegas bahwa PMRI sejalan dengan
paradigma baru pendidikan sehingga pantas dikembangkan di Indonesia (Marpaung,
2004).
Van den Huivel-Panhuizen dalam bukunya “Mathematics
Education in the Netherland A Guide Tour” (Marpaung, 2004) menyebutkan
prinsip-prinsip PMRI yaitu :
(1) Prinsip Aktivitas
Prinsip ini menyatakan bahwa aktivitas matematika paling banyak dipelajari dengan melakukannya sendiri.
(2) Prinsip Realitas
Prinsip ini menyatakan bahwa pembelajaran matematika dimulai dari masalah-masalah dunia nyata yang dekat dengan pengalaman siswa (masalah yang realitas bagi siswa).
(3) Prinsip Perjenjangan
Prinsip ini menyatakan bahwa pemahaman siswa terhadap matematika melalui berbagai jenjang; dari menemukan (to invent), penyelesaian masalah kontekstual secara informal ke skematisasi, ke perolehan insign dan selanjutnya ke penyelesaian secara formal.
(4) Prinsip Jalinan
Prinsip ini menyatakan bahwa materi matematika di sekolah sebaiknya tidak dipecah-pecah menjadi aspek-aspek (learning strands) yang diajarkan terpisah-pisah.
(5) Prinsip Interaksi
Prinsip ini menyatakan bahwa belajar matematika dapat dipandang sebagai aktivitas sosial selain sebagai aktivitas individu.
(6) Prinsip Bimbingan
Prinsip ini menyatakan bahwa dalam menemukan kembali (reinvent) matematika siswa perlu mendapat bimbingan.
Prinsip ini menyatakan bahwa aktivitas matematika paling banyak dipelajari dengan melakukannya sendiri.
(2) Prinsip Realitas
Prinsip ini menyatakan bahwa pembelajaran matematika dimulai dari masalah-masalah dunia nyata yang dekat dengan pengalaman siswa (masalah yang realitas bagi siswa).
(3) Prinsip Perjenjangan
Prinsip ini menyatakan bahwa pemahaman siswa terhadap matematika melalui berbagai jenjang; dari menemukan (to invent), penyelesaian masalah kontekstual secara informal ke skematisasi, ke perolehan insign dan selanjutnya ke penyelesaian secara formal.
(4) Prinsip Jalinan
Prinsip ini menyatakan bahwa materi matematika di sekolah sebaiknya tidak dipecah-pecah menjadi aspek-aspek (learning strands) yang diajarkan terpisah-pisah.
(5) Prinsip Interaksi
Prinsip ini menyatakan bahwa belajar matematika dapat dipandang sebagai aktivitas sosial selain sebagai aktivitas individu.
(6) Prinsip Bimbingan
Prinsip ini menyatakan bahwa dalam menemukan kembali (reinvent) matematika siswa perlu mendapat bimbingan.
Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) pada dasarnya adalah
pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk
memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga dapat mencapai tujuan
pendidikan matematika secara lebih baik daripada masa yang lalu Dalam pandangan
PMR, pengembangan suatu konsep matematika
dimulai oleh siswa secara mandiri berupa kegiatan eksplorasi sehingga memberikan peluang pada siswa untuk berkreasi mengembangkan
pemikirannya.
Adapun
sintak implementasi matematika realistik adalah
Aktivitas Guru
|
Aktivitas Siswa
|
Guru memberikan siswa masalah
kontekstual.
|
Siswa secara sendiri
atau kelompok kecil mengerjakan masalah dengan strategi-strategi informal.
|
Guru merespon secara positif
jawaban siswa. Siswa diberikan kesempatan untuk memikirkan strategi siswa
yang paling efektif.
|
|
Guru mengarahkan siswa pada
beberapa masalah kontekstual dan selanjutnya meminta siswa mengerjakan
masalah dengan menggunakan pengalaman mereka
|
Siswa secara
sendiri-sendiri atau berkelompok menyelesaikan masalah tersebut.
|
Guru mengelilingi siswa sambil
memberikan bantuan seperlunya.
|
Beberapa siswa
mengerjakan di papan tulis. Melalui diskusi kelas, jawaban siswa
dikonfrontasikan.
|
Guru
mengenalkan istilah konsep.
|
Siswa merumuskan bentuk
matematika formal.
|
Guru memberikan tugas di rumah, yaitu
mengerjakan soal atau membuat masalah cerita beserta jawabanya yang sesuai
dengan matematika formal.
|
Siswa
mengerjakan tugas rumah dan menyerahkannya kepada guru
|
Esensi lain pembelajaran matematika realistik adalah tiga
prinsip kunci yang dapat dijadikan dasar dalam merancang pembelajaran.
Gravemeijer (1994: 90) menyebutkan tiga prinsip tersebut, yaitu (1) guided
reinvention and progressive mathematizing (2) didactical phenomenology dan (3)
self-developed models.
1. Guided reinvention and progressive mathematizing. Menurut Gravemijer (1994: 90), berdasar prinsip reinvention, para siswa semestinya diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan proses saat matematika ditemukan. Sejarah matematika dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam merancang materi pelajaran. Selain itu prinsip reinvention dapat pula dikembangkan berdasar prosedur penyelesaian informal. Dalam hal ini strategi informal dapat dipahami untuk mengantisipasi prosedur penyelesaian formal. Untuk keperluan tersebut maka perlu ditemukan masalah kontekstual yang dapat menyediakan beragam prosedur penyelesaian serta mengindikasikan rute pembelajaran yang berangkat dari tingkat belajar matematika secara nyata ke tingkat belajar matematika secara formal (progressive mathematizing)
1. Guided reinvention and progressive mathematizing. Menurut Gravemijer (1994: 90), berdasar prinsip reinvention, para siswa semestinya diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan proses saat matematika ditemukan. Sejarah matematika dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam merancang materi pelajaran. Selain itu prinsip reinvention dapat pula dikembangkan berdasar prosedur penyelesaian informal. Dalam hal ini strategi informal dapat dipahami untuk mengantisipasi prosedur penyelesaian formal. Untuk keperluan tersebut maka perlu ditemukan masalah kontekstual yang dapat menyediakan beragam prosedur penyelesaian serta mengindikasikan rute pembelajaran yang berangkat dari tingkat belajar matematika secara nyata ke tingkat belajar matematika secara formal (progressive mathematizing)
2.
Didactical phenomenology. Gravemeijer (1994: 90) menyatakan, berdasar prinsip
ini penyajian topik-topik matematika yang termuat dalam pembelajaran matematika
realistik disajikan atas dua pertimbangan yaitu (i) memunculkan ragam aplikasi
yang harus diantisipasi dalam proses pembelajaran dan (ii) kesesuaiannya
sebagai hal yang berpengaruh dalam proses progressive mathematizing.
3. Self-developed models, Gravemeijer (1994: 91) menjelaskan, berdasar prinsip ini saat mengerjakan masalah kontekstual siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan model mereka sendiri yang berfungsi untuk menjembatani jurang antara pengetahuan informal dan matematika formal. Pada tahap awal siswa mengembangkan model yang diakrabinya. Selanjutnya melalui generalisasi dan pemformalan akhirnya model tersebut menjadi sesuatu yang sungguh-sungguh ada (entity) yang dimiliki siswa
3. Self-developed models, Gravemeijer (1994: 91) menjelaskan, berdasar prinsip ini saat mengerjakan masalah kontekstual siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan model mereka sendiri yang berfungsi untuk menjembatani jurang antara pengetahuan informal dan matematika formal. Pada tahap awal siswa mengembangkan model yang diakrabinya. Selanjutnya melalui generalisasi dan pemformalan akhirnya model tersebut menjadi sesuatu yang sungguh-sungguh ada (entity) yang dimiliki siswa
Teori Belajar
yang Relevan dengan Pembelajaran Matematika Realistik
Seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, pembelajaran matematika realistik dikembangkan dengan mengacu dan dijiwai oleh filsafat konstruktivis. Sedangkan menurut Soedjadi (1999: 156) kontruktivisme di bidang belajar dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan yang dikembangkan sejalan dengan teori psikologi kognitif. Inti dari konstruktivisme dalam bidang belajar adalah peranan besar yang dimiliki siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan yang bermakna bagi dirinya. Sedangkan guru memposisikan diri lebih sebagai fasilitator belajar. Beberapa teori belajar kognitif yang dipandang relevan dengan pendekatan pembelajaran matematika realistik adalah teori Piaget, teori Vygotsky, teori Ausubel dan teori Bruner.
Seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, pembelajaran matematika realistik dikembangkan dengan mengacu dan dijiwai oleh filsafat konstruktivis. Sedangkan menurut Soedjadi (1999: 156) kontruktivisme di bidang belajar dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan yang dikembangkan sejalan dengan teori psikologi kognitif. Inti dari konstruktivisme dalam bidang belajar adalah peranan besar yang dimiliki siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan yang bermakna bagi dirinya. Sedangkan guru memposisikan diri lebih sebagai fasilitator belajar. Beberapa teori belajar kognitif yang dipandang relevan dengan pendekatan pembelajaran matematika realistik adalah teori Piaget, teori Vygotsky, teori Ausubel dan teori Bruner.
1.
Teori Piaget
Piaget (dalam Ibrahim, 1999:16) berpandangan bahwa, anak-anak
memiliki potensi untuk mengembangkan intelektualnya. Pengembangan intelektual
mereka bertolak dari rasa ingin tahu dan memahami dunia di sekitarnya.
Pemahaman dan penghayatan tentang dunia sekitarnya akan mendorong pikiran
mereka untuk membangun tampilan tentang dunia tersebut dalam otaknya. Tampilan
yang merupakan struktur mental itu disebut skema atau skemata (jamak). Suparno
(1997: 30) menggambarkan skema sebagai suatu jaringan konsep atau kategori.
Dengan menggunakan skemanya, seseorang dapat memproses dan mengidentifikasi
suatu rangsangan yang diterimanya sehingga ia dapat menempatkannya pada
kategori/ konsep yang sesuai.
Piaget menyatakan bahwa prinsip dasar dari pengembangan pengetahuan seseorang adalah berlangsungnya adaptasi pikiran seseorang ke dalam realitas di sekitarnya. Proses adaptasi ini tidak terlepas dari keberadaan skema yang dimiliki orang tersebut serta melibatkan asimilasi, akomodasi dan equiliberation dalam pikirannya (Suparno,1997: 31). Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang dapat mengintegrasikan persepsi, konsep atau pengalaman baru ke dalam skema yang dimilikinya. Melalui asimilasi, skema seseorang berkembang namun tidak berubah. Dengan demikian perkembangan skema seseorang berarti terjadinya pengayaan persepsi dan pengetahuan seseorang atas dunia sekitarnya. Karena itu asimilasi dapat dipandang sebagai proses yang dilakukan individu untuk mengadaptasikan dan mengorganisasi diri ke dalam lingkungannya sehingga pengertianya berubah.
Piaget menyatakan bahwa prinsip dasar dari pengembangan pengetahuan seseorang adalah berlangsungnya adaptasi pikiran seseorang ke dalam realitas di sekitarnya. Proses adaptasi ini tidak terlepas dari keberadaan skema yang dimiliki orang tersebut serta melibatkan asimilasi, akomodasi dan equiliberation dalam pikirannya (Suparno,1997: 31). Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang dapat mengintegrasikan persepsi, konsep atau pengalaman baru ke dalam skema yang dimilikinya. Melalui asimilasi, skema seseorang berkembang namun tidak berubah. Dengan demikian perkembangan skema seseorang berarti terjadinya pengayaan persepsi dan pengetahuan seseorang atas dunia sekitarnya. Karena itu asimilasi dapat dipandang sebagai proses yang dilakukan individu untuk mengadaptasikan dan mengorganisasi diri ke dalam lingkungannya sehingga pengertianya berubah.
Proses kognitif asimilasi tidak selalu dapat dilakukan
seseorang . Hal ini terjadi jika rangsangan baru yang diterimanya tidak sesuai
dengan skema yang dimilikinya. Jika hal ini terjadi, maka akan dilakukan proses
akomodasi. Melalui proses akomodasi, pikiran seseorang akan membentuk skema
baru yang cocok dengan rangsangan tersebut atau memodifikasi skema yang telah
ada sehingga cocok dengan rangsangan tersebut (Suparno, 1997: 32).
Dalam mengembangkan pengetahuannya, proses asimilasi dan
akomodasi terus berlangsung dalam diri seseorang. Keduanya terjadi tidak
berdiri sendiri. Kedua proses ini berlangsung dalam keseimbangan yang diatur
secara mekanis. Proses pengaturan keseimbangan ini disebut equilibrium
(Suparno, 1997: 32). Namun dalam menerima suatu pengalaman baru dapat terjadi
suatu keadaan sedemikian hingga terjadi ketidakseimbangan antara asimilasi dan
akomodasi. Keadaan ini disebut sebagai dissequilibrium. Ketidakseimbangan ini
muncul pada saat terjadi ketidaksesuaian antara pengalaman saat ini dengan
pengalaman baru yang mengakibatkan akomodasi. Jika terjadi ketidakseimbangan
maka seseorang dipacu untuk mencari keseimbangan antara asimilasi dan
akomodasi. Menurut Dahar (1991: 182) seseorang yang mampu memperoleh kembali
keseimbangannya akan berada pada tingkat intelektual yang tinggi dari
sebelumnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Teori Piaget memandang
kenyataan atau pengetahuan bukan sebagai objek yang memang sudah jadi dan ada
untuk dimiliki manusia, namun ia harus diperoleh melalui kegiatan konstruksi
oleh manusia sendiri melalui proses pengadaptasian pikirannya ke dalam realitas
di sekitarnya.
Lebih lanjut Piaget (dalam Atkinson, 1999: 96) menjelaskan
bahwa dalam tahap-tahap perkembangan intelektualnya seorang anak sudah terlibat
dalam proses berpikir dan mempertimbangkan kehidupannya secara logis. Proses
berpikir tersebut berlangsung sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Agar
perkembangan intelektual anak berlangsung optimal maka mereka perlu dimotivasi
dan difasilitasi untuk membangun teori-teori yang menjelaskan tentang dunia
sekitarnya (Ibrahim, 1999: 19). Berkaitan dengan upaya ini Piaget (dalam
Ibrahim, 1999:18) berpendapat bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang
melibatkan anak bereksperimen secara mandiri, dalam arti:
a.
Mencoba segala sesuatu untuk melihat apa yang terjadi.
b. Memanipulasi
tanda dan symbol
c. Mengajukan
pertanyaan
d. Menemukan jawaban sendiri
e. Mencococokan apa yang telah ia temukan pada suatu saat dengan apa yang ia temukan pada saat yang lain
f. Membandingkan temuannya dengan temuan orang lain.
d. Menemukan jawaban sendiri
e. Mencococokan apa yang telah ia temukan pada suatu saat dengan apa yang ia temukan pada saat yang lain
f. Membandingkan temuannya dengan temuan orang lain.
Pembelajaran matematika realistik merupakan salah satu
pendekatan pembelajaran yang sejalan dengan pandangan Piaget di atas.
Pembelajaran matematika realistik yang dikembangkan dengan berlandaskan pada
filsafat konstruktivis, memandang pengetahuan dalam matematika bukanlah sebagai
sesuatu yang sudah jadi dan siap diberikan kepada siswa, namun sebagai hasil
konstruksi siswa yang sedang belajar. Karena itu, dalam pembelajaran matematika
realistik siswa merupakan pusat dari proses pembelajaran itu sendiri, sedangkan
guru berperan lebih sebagai fasilitator. Implikasi dari pandangan ini adalah
keharusan bagi guru untuk memfasilitasi dan mendorong siswa untuk terlibat
aktif dalam proses pembelajaran. Siswa harus didorong untuk mengkonstruksi
pengetahuan bagi dirinya. Untuk keperluan tersebut maka siswa perlu mendapat
keleluasaan dalam mengekspresikan jalan pikirannya dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang dihadapinya.
Untuk mewujudkan situasi dan kondisi belajar yang demikian
maka dalam mengelola pembelajaran guru perlu memperhatikan beberapa pandangan
Piaget. Diantaranya adalah guru perlu mendorong siswa untuk berani mencoba
berbagai kemungkinan cara untuk memahami dan menyelesaikan masalah. Dalam ini
aktivitas mengkonstruksi pengetahuan oleh siswa diwujudkan dengan memberikan
masalah kontekstual. Masalah kontekstual tersebut dirancang sedemikian hingga
memungkinkan siswa untuk membangun pengetahuannya secara mandiri.
2. Teori Vygotsky
Matthews dan O’Loughlin (dalam Suparno, 1997: 41) berpendapat
bahwa teori Piaget dikembangkan dengan penekanan yang lebih pada aspek
personal. Teori ini dipandang terlalu subjektif dan kurang sosial, sehingga
faktor masyarakat dan lingkungan kurang diperhatikan dalam proses pengembangan
intelektual seorang anak.
Berbeda dengan Piaget, Vygotsky (dalam Ibrahim, 1999: 18)
berpendapat bahwa proses pembentukan dan pengembangan pengetahuan anak tidak
terlepas dari faktor interaksi sosialnya. Melalui interaksi dengan teman dan
lingkungannya, seorang anak terbantu perkembangan intelektualnya. Pandangan
Vygotsky tentang arti penting interaksi sosial dalam perkembangan intelektual
anak tampak dari empat ide kunci yang membangun teorinya.
3. Teori Ausubel
Ausubel, Noval dan Hanesian menggolongkan belajar atas dua
jenis yaitu belajar menghafal dan belajar bermakna (Suparno, 1997: 53). Menurut
Nur (1999: 38) belajar menghafal mengacu pada penghafalan fakta-fakta atau
hubungan-hubungan, misal tabel perkalian dan lambang-lambang atom kimia.
Sedangkan menurut Ausubel belajar dikatakan bermakna jika informasi yang akan
dipelajari siswa disusun sesuai dengan struktur kognitifnya sehingga siswa
tersebut mengkaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang
dimilikinya (Hudojo, 1988: 61).
Menurut Parreren melalui belajar bermakna struktur konsep
yang dimiliki seseorang mengalami perkembangan. Selain itu konsep-konsep yang
terhubung satu dengan yang lain secara bermakna melahirkan kaidah yang berguna
dalam pemecahan masalah (Winkel, 1991: 57). Pandangan ini sejalan dengan
pendapat yang menyebutkan bahwa pengetahuan yang dipelajari secara bermakna
akan memungkinkan untuk diterapkan ke situasi yang lebih luas dalam kehidupan
nyata (Nur, 1999: 34).
Berlawanan dengan penjelasan di atas, jika pengetahuan yang
semestinya dapat diajarkan secara bermakna tetapi diajarkan dengan menghafal
akan menghasilkan pengetahuan inert. Pengetahuan inert adalah pengetahuan yang
sesungguhnya dapat diterapkan untuk situasi yang lebih umum, tetapi pada
kenyataannya hanya dapat diterapkan dalam situasi khusus (Nur, 1999: 38). Siswa
yang hanya menghafal suatu konsep tanpa benar-benar mengerti isinya merupakan
bentuk dari korban verbalisme (Winkel, 1991: 58).
Salah satu karakteristik pembelajaran matematika realistik
adalah penggunaan konteks. Penggunaan konteks dalam pembelajaran matematika
realistik berarti bahwa lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah
dimiliki siswa dapat dijadikan sebagai bagian materi belajar bagi siswa. Apa
yang terjadi di sekitar siswa maupun pengetahuan yang dimiliki siswa merupakan
bahan yang berharga untuk dijadikan sebagai permasalahan kontekstual yang
menjadi titik tolak aktivitas berfikir siswa. Permasalahan yang demikian lebih
bermakna bagi siswa karena masih berada dalam jangkauan pengetahuan yang telah
dimiliki siswa sebelumnya. Oleh sebab itu, untuk memecahkan masalah kontekstual
seorang siswa harus dapat mengkaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan
permasalahan tersebut. Dengan demikian seorang siswa akan berhasil memecahkan
masalah kontekstual jika ia mempunyai cukup pengetahuan yang terkait dengan
masalah tersebut. Selain itu siswa juga harus dapat menerapkan pengetahuan yang
telah dimilikinya untuk menyelesaikan masalah kontekstual tersebut. Dengan
demikian penyajian masalah kontekstual untuk siswa dalam pembelajaran
matematika realistik sejalan dengan teori belajar bermakna Ausubel.
4. Teori Bruner
Bruner (dalam Hudojo, 1988: 56) berpendapat bahwa belajar
matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur serta
mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur tersebut. Menurut
Bruner pemahaman atas suatu konsep beserta strukturnya menjadikan materi itu
lebih mudah diingat dan dapat dipahami lebih komprehensif.
Mirip dengan seperti apa yang dikemukakan Piaget, Bruner
berpendapat adanya tiga tahap perkembangan mental yang dilalui peserta didik
dalam proses belajar. Namun ketiga tahap berpikir menurut Bruner ini tidak
dikaitkan dengan usia peserta didik.
Contoh Desain Pembelajaran Menggunakan
Pendekatan Realistik Matematika
Kepada
siswa disajikan berbagai konteks yang berkaitan dengan system persamaan linier,
pengenalan proses penyelesaian SPL, sampai kepada pengenalan istilah persamaan
dan system persamaan linier. Antara lain, konteks : barter, timbangan, minyak wangi, koperasi mina sari dan harga berbagai
barang. Selain SPL juga disampaikan masalah POLA dan FORMULA dengan
mengambil konteks pengubinan dan pemasangan kerangka baja.
3. Penutup
1.
Pendekatan matematika
realistik merupakan suatu pendekatan pembelajaran dalam pendidikan matematika
yang pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda.
2.
Pendekatan matematika
realistic merupakan suatu pendekatan yang bertujuan untuk memotivasi siswa
memahami konsep matematika dengan mengaitkan konsep tersebut dengan permasalahan
dalam kehidupan sehari-hari.
Mengingat bahwa tidak ada
cara belajar dan mengajar yang terbaik (Nisbet, 1984) maka pendekatan realistic
perlu dipertimbangkan untuk dijadikan sebagai alternative dalam pembelajaran
matematika. Namun perlu diingat bahwa masalah kontekstual yang diungkapkan
tidak selamanya berasal dari aktifitas sehari-hari, melainkan bisa juga dari
konteks yang dapat diimajinasikan dalam pikiran.
DAFTAR PUSTAKA
http://h4mm4d.wordpress.com/2009/02/27/pendidikan-matematika-realistik-indonesia-pmri-indonesia/
tanggal 20 jam 21.59
Tim. Strategi Pembelajaran
Matematika Kontemporer.Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar